Nama : Inestiya Khoirunisa
NIM : 41812120055
Tugas Pertemuan 09
I. PENGERTIAN KONTRAK
Pada prinsipnya kontrak terdiri dari satu atau serangkaian janji yang dibuat para pihak dalam kontrak. Esensi dari kontrak itu sendiri adalah perjanjian (agreement). Atas dasar itu,mendefinisikan kontrak sebagai peristiwa di mana seseorang berjanji kepada orang lain di mana dua orang saling berjanji untuk melaksanakan sesuatu.
Bab II Buku III Kitab Undang-Undang Hukum Perdata (KUHPerdata) Indonesia menyamakan kontrak dengan perjanjian atau persetujuan. Hal tersebut secara jelas terlihat dalam judul Bab II Buku III KUHPerdata, yakni “Perikatan yang Lahir dari Kontrak atau Persetujuan.”
Pasal 1313 KUHPerdata mendefinisikan perjanjian sebagai suatu perbuatan yang terjadi antara satu atau dua orang atau lebih mengikatkan dirinya terhadap orang lain. Definisi tersebut dianggap tidak lengkap dan terlalu luas dengan berbagai alasan tersebut di bawah ini.
Dikatakan tidak lengkap, karena definisi tersebut hanya mengacu kepada perjanjian sepihak saja. Hal ini terlihat dari rumusan kalimat “yang terjadi antara satu orang atau lebih mengikatkan dirinya kepada satu orang atau lebih.” Mengingat kelemahan tersebut, J. Satrio mengusulkan agar rumusan dirubah menjadi: atau di mana kedua belah pihak saling mengikatkan diri.
Untuk memperbaiki kelemahan definisi di atas, Pasal 6.213.I Kitab Undang-Undang Hukum Perdata Belanda (BW Baru) mendefinisikan perjanjian sebagai suatu perbuatan hukum yang terjadi antara satu orang atau lebih mengikatkan dirinya kepada satu orang atau lebih di mana keduanya saling mengikatkan dirinya.
Berdasarkan Ketentuan Umum Hukum Kontrak Belanda, pengertian kontrak adalah suatu perbuatan hukum (juridical act), yang dibuat dengan formalitas yang memungkinkan, dan diijinkan oleh hukum yang berwenang-dan dibuat bersesuaian dan harus ada ungkapan niat dari satu atau dua pihak secara bersama-sama yang saling bergantung satu sama lain(interdependent). Kontrak ini bertujuan untuk menciptakan akibat hukum untuk kepentingan satu pihak dan juga untuk pihak lain.
Kontrak merupakan golongan dari ‘perbuatan hukum’, perbuatan hukum yang dimaksud adalah suatu perbuatan yang menghasilkan akibat hukum dikarenakan adanya niat dari perbuatan satu orang atau lebih. Sehingga dapat dikatakan bahwa beberapa perbuatan hukum adalah kontrak.
Ciri khas yang paling penting dari suatu kontrak adalah adanya kesepakatan bersama (mutual consent) para pihak. Kesepakatan bersama ini bukan hanya merupakan karakteristik dalam pembuatan kontrak, tetapi hal itu penting sebagai suatu niat yang diungkapkan kepada pihak lain. Di samping itu, sangat mungkin untuk suatu kontrak yang sah dibuat tanpa adanya kesepakatan bersama.
Pada akhirnya, akibat hukum harus dihasilkan untuk kepentingan satu pihak dan pihak lainnya, atau, untuk kepentingan kedua belah pihak. Dalam Peraturan Umum Hukum Kontrak Belanda menyebutkan bahwa para pihak dalam kontrak hanya dapat untuk mengadakan perikatan terhadap satu sama lain.
Di dalam sistem common law ada pembedaan antara contract dan agreement. Semua kontrak adalah agreement, tetapi tidak semua agreements adalah kontrak. American Restatement of Contract (second) mendefinisikan kontrak sebagai ‘a promise or set of promises for the breach of which the law give a remedy or the performance of which the law in some way recognized a duty."
Beberapa pengertian kontrak yang lain masih memiliki arti yang sama, tetapi ada satu pengertian yang tepat dan ringkas yang diungkapkan oleh Pollock yang mendefinisikan kontrak sebagai ‘suatu janji di mana hukum dapat diberlakukan baginya’ (promises which the law will enforce).
Substansi dari definisi-definisi kontrak di atas adalah adanya mutual agreement atau persetujuan (assent) para pihak yang menciptakan kewajiban yang dilaksanakan atau kewajiban yang memiliki kekuatan hukum.
II SYARAT SAHNYA KONTRAK
Pasal 1320 KUHPerdata menentukan adanya 4 (empat) syarat sahnya suatu perjanjian, yaitu:
- 1. Adanya Kata Sepakat
Supaya kontrak menjadi sah maka para pihak harus sepakat terhadap segala hal yang terdapat di dalam perjanjian. Pada dasarnya kata sepakat adalah pertemuan atau persesuaian kehendak antara para pihak di dalam perjanjian. Seseorang dikatakan memberikan persetujuannya atau kesepakatannya jika ia memang menghendaki apa yang disepakati.
Mariam Darus Badrulzaman melukiskan pengertian sepakat sebagai persyaratan kehendak yang disetujui (overeenstemende wilsverklaring) anta pihak-pihak. Pernyataan pihak yang menawarkan dinamakan tawaran (offerte). Dan pernyataan pihak yang menerima penawaran dinamakan akseptasi (acceptatie).Dengan demikian dapat dikatakan bahwa penawaran dan akseptasi merupakan unsur yang sangat penting untuk menentukan lahirnya perjanjian. Di samping itu, kata sepakat dapat diungkapkan dalam berbagai cara, yaitu:
- Secara lisan
- Tertulis
- Dengan tanda
- Dengan simbol
- Dengan diam-diam
III. ASAS-ASAS KONTRAK
Nieuwenhuis menjelaskan hubungan fungsional antara asas dan ketentuan hukum (rechtsgels) sebagai berikut:
- Asas-asas hukum berfungsi sebagai pembangun sistem. Asas-asas itu tidak hanya mempengaruhi hukum positif, tetapi juga dalam banyak hak menciptakan suatu sistem. Suatu sistem tidak akan ada tanpa adanya asas-asas;
- Asas-asas itu membentuk satu dengan lainnya suatu sistem check and balance. Asas-asas ini sering menunjuk ke arah yang berlawanan, apa yang kiranya menjadi merupakan rintangan ketentuan-ketentuan hukum. Oleh karena menunjuk ke arah yang berlawanan, maka asas-asas itu saling kekang mengekang, sehingga ada keseimbangan.
Sistem pengaturan hukum perjanjian yang terdapat di dalam Buku III KUHPerdata memiliki karakter atau sifat sebagai hukum pelengkap (aanvullenrechts atau optional law). Dengan karakter yang demikian, orang boleh menggunakan atau tidak menggunakan ketentuan yang terdapat di dalam Buku III KUHPerdata tersebut. Di dalam perjanjian, para pihak dapat mengatur sendiri yang menyimpang dari ketentuan Buku III KUHPerdata.
Hukum perjanjian memberikan kebebasan kepada subjek perjanjian untuk melakukan perjanjian dengan beberapa pembatasan tertentu. Sehubungan dengan itu Pasal 1338 KUHPerdata menyatakan:
- Semua perjanjian yang dibuat secara sah berlaku sebagai undang-undang bagi mereka yang membuatnya;
- Perjanjian itu tidak dapat ditarik kembali selain dengan kata sepakat keduabelah pihak atau karena alasan undang-undang yang dinyatakan cukup untuk itu; dan
- Perjanjian tersebut harus dilaksanakan dengan iktikad baik.
Ada beberapa asas hukum perjanjian yang dikandung Pasal 1338 KUHPerdata sebagai berikut:
- Asas konsensualisme;
- Asas facta sunt servanda;
- Asas kebebasan berkontrak; dan
- Asas iktikad baik.
- yang ditimbulkan dari perjanjian itu, yang perlu dilindungi (asas melindungi pihak beriktikad baik); dan
- asas kuasa, yaitu adanya saling ketergantungan (keterikatan) bagi suatu perjanjian untuk tunduk pada ketentuan hukum (rechtsregel) yang telah ada, walaupun ada kebebasan berkontrak.
Terhadap adanya perbedaan unsur-unsur Sudikno Mertokusumo mengajukan tiga asas perjanjian yang dapat dirinci sebagai berikut:
- Asas konsensualisme, yakni suatu persesuaian kehendak (berhubungan dengan lahirnya suatu perjanjian);
- Asas kekuatan mengikatnya suatu perjanjian (berhubungan dengan akibat perjanjian; dan
- Asas kebebasan berkontrak (berhubungan dengan isi perjanjian).
Asas yang sama juga dikemukakan Ridwan Khairandy. Menurut Ridwan hukum perjanjian mengenal tiga asas perjanjian yang saling kait mengkait satu dengan yang lainnya. Ketiga asas sebagai berikut:
- Asas konsensualisme (the principle of consensualism);
- Asas kekuatan mengikatnya kontrak (the legal binding of contract); dan
- Asas kebebasan berkontrak (the principle of freedom of contract).
Menurut Henry P. Pangabean, perkembangan hukum perjanjian, misalnya dapat dilihat dari berbagai ketentuan (Nieuwe) Burgerlijk Wetboek atau BW (Baru) Negeri Belanda. Perkembangan itu justeru menyangkut penerapan asas-asas hukum perjanjian yang dikaitkan dengan praktik peradilan.
- 1. Asas Kebebasan Berkontrak
Asas kebebasan berkontrak merupakan tiang dari sistem hukum perdata, khususnya hukum perikatan yang diatur Buku III KUHPerdata. Bahkan menurut Rutten, hukum perdata, khususnya hukum perjanjian, seluruhnya didasarkan pada asas kebebasan berkontrak. Asas kebebasan berkontrak yang dianut hukum Indonesia tidak lepas kaitannya dengan Sistem Terbuka yang dianut Buku III KUHPerdata merupakan hukum pelengkap yang boleh dikesampingkan oleh para pihak yang membuat perjanjian.
Dengan asas kebebasan berkontrak orang dapat menciptakan perjanjian-perjanjian baru yang dikenal dalam Perjanjian Bernama dan isinya menyimpang dari Perjanjian Bernama yang diatur oleh undang-undang. Sutan Remy Sjahdeini menyimpulkan ruang lingkup asas kebebasan berkontrak sebagai berikut:
- kebebasan untuk membuat atau tidak membuat perjanjian;
- kebebasan untuk memilih dengan pihak siapa ia ingin membuat perjanjian;
- kebebasan untuk memilih causa perjanjian yang akan dibuatnya;
- kebebasan untuk menentukan objek suatu perjanjian;
- kebebasan untuk menentukan bentuk suatu perjanjian
- kebebasan untuk menerima atau menyimpangi ketentuan undang-undang yang bersifat opsional (aanvullen, optional).
Asas kebebasan berkontrak ini bersifat universal, artinya berlaku juga dalam berbagai sistem huk perjanjian di negara-negara lain dan memiliki ruang lingkup yang sama.
Pasal 1338 ayat (1) KUHPerdata mengakui asas kebebasan berkontrak dengan menyatakan, bahwa semua perjanjian yang dimuat secara sah mengikat para pihak sebagai undang-undang.
Menurut sejarahnya, Pasal 1338 ayat (1) KUHPerdata yang mencerminkan tipe perjanjian pada waktu itu yang berpijak pada Revolusi Perancis, bahwa individu sebagai dasar dari semua kekuasaan. Pendapat ini menimbulkan konsekuensi, bahwa orang juga bebas untuk mengikat diri dengan orang lain, kapan dan bagaimana yang diinginkan kontrak terjadi berdasarkan kehendak yang mempunyai kekuatan mengikat sebagai undang-undang.
Hukum Romawi sendiri tidak mengenal adanya kebebasan berkontrak. Menurut Hukum Romawi, untuk membuat suatu perjanjian yang sempurna tidak cukup dengan persesuaian kehendak saja, kecuali dalam empat hal, yaitu: perjanjian jual beli, sewa-menyewa, persekutuan perdata, dan memberi beban atau perintah (lastgeving). Selain keempat jenis perjanjian itu semua perjanjian harus dilakukan dengan syarat-syarat tertentu yang disebut causa civilis oligandi, yaitu untuk mencapai kesepakatan harus disertai dengan kata-kata suci (verbis) disertai dengan tulisan tertentu (literis) dan disertai pula penyerahan suatu benda (re).
Jadi, konsensus atau persesuaian kehendak saja belum cukup untuk terjadinya perjanjian. Tetapi kemudian dalam perkembangan lebih lanjut telah terjadi dalam Hukum Kanonik dengan suatu asas, bahwa setiap perjanjian meskipun tanpa bentuk tertentu adalah mengikat para pihak, yang disokong oleh moral agama Nasrani yang menghendaki bahwa kata-kata yang telah diucapkan tetap dilaksanakan. Dengan demikian kebebasan berkontrak telah dimulai dalam hukum Kanonik.
Dalam perkembangannya, ternyata kebebasan berkontrak dapat menimbulkan ketidakadilan, karena untuk mencapai asas kebebasan berkontrak harus didasarkan pada posisi tawar (bargaining position) para pihak yang seimbang. Dalam kenyataannya hal tersebut sulit (jika dikatakan tidak mungkin) dijumpai adanya kedudukan posisi tawar yang betul-betul seimbang atau sejajar. Pihak yang memiliki posisi tawar yang lebih tinggi seringkali memaksakan kehendaknya. Dengan posisi yang demikian itu, ia dapat mendikte pihak lainnya untuk mengikuti kehendaknya dalam perumusan isi perjanjian. Dalam keadaan demikian, pemerintah atau negara seringkali melakukan intervensi atau pembatasan kebebasan berkontrak dengan tujuan untuk melindungi pihak yang lemah. Pembatasan tersebut dapat dilakukan melalui peraturan perundang-undangan dan putusan pengadilan.
Pasal 1320 KUHPerdata sendiri sebenarnya membatasi asas kebebasan berkontrak melalui pengaturan persyaratan sahnya perjanjian yang harus memenuhi kondisi:
- adanya persetujuan atau kata sepakat para pihak;
- kecakapan untuk membuat perjanjian;
- adanya objek tertentu; dan
- ada kausa hukum yang halal.
Di negara-negara dengan sistem common law, kebebasan berkontrak juga dibatasi melalui peraturan perundang-undangan dan public policy. Hukum perjanjian Indonesia juga membatasi kebebasan berkontrak dengan ketentuan undang-undang, ketertiban umum, dan kesusilaan. Pembatasan ini dikaitkan dengan kausa yang halal dalam perjanjian. Berdasar Pasal 1337 KUHPerdata suatu kausa dapat menjadi terlarang apabila dilarang oleh undang-undang, kesusilaan, dan ketertiban umum.
Selain pembatasan tersebut di atas, Ridwan Khaiarandy mencatat beberapa hal yang menyebabkan makin berkurangnya asas kebebasan berkontrak, yakni:
- makin berpengaruhnya ajaran iktikad baik di mana iktikad baik tidak hanya ada pada saat perjanjian dilaksanakan juga telah harus ada pada saat perjanjian dibuat; dan
- makin berkembangnya ajaran penyalahgunaan keadaan dalam kontrak (misbruik van omstandigheden, undue influence).
Selain kedua hal di atas, Setiawan mencatat dua hal lagi yang dapat membatasi kebebasan berkontrak. Makin banyaknya perjanjian yang dibuat dalam bentuk baku yang disodorkan pihak kreditor atas dasar take it or leave it. Di sini tidak ada kesempatan bagi debitor untuk turut serta menentukan isi perjanjian. Juga makin berkembang peraturan perundang-undangan di bidang ekonomi turut membatasi kebebasan berkontrak. Peraturan yang demikian itu merupakan mandatory rules of a public nature. Peraturan-peraturan ini bahkan membuat ancaman kebatalan perjanjian di luar adanya paksaan, kesesatan, dan penipuan yang sudah dikenal dalam hukum perjanjian. Contoh dari peraturan perundang-undangan di bidang hukum ekonomi yang membatasi kebebasan berkontrak adalah Undang-Undang Konsumen.
- 3. Asas Konsensualisme
Perjanjian harus didasarkan pada konsensus atau kesepakatan dari pihak-pihak yang membuat perjanjian. Dengan asas konsensualisme, perjanjian dikatakan telah lahir jika ada kata sepakat atau persesuaian kehendak diantara para pihak yang membuat perjanjian tersebut.
Berdasarkan asas konsensualisme itu, dianut paham bahwa sumber kewajiban kontraktual adalah bertemunya kehendak (convergence of wills) atau konsensus para pihak yang membuat kontrak.
- 4. Asas Kekuatan Mengikatnya Kontrak
Dasar teoritik mengikatnya kontrak bagai para pihak yang umumnya dianut di negara-negara civil law dipengaruhi oleh hukum Kanonik. Hukum Kanonik dimulai dari disiplin penitisial bahwa setiap janji itu mengikat. Dari sinilah kemudian lahir prinsippacta sunt servanda. Menurut asas ini kesepakatan para pihak itu mengikat sebagaimana layaknya undang-undang bagai para pihak yang membuatnya.
Dengan adanya janji timbul kemauan bagai para pihak untuk saling berprestasi, ada kemauan untuk saling mengikatkan diri. Kewajiban kontraktual tersebut menjadi sumber bagi para pihak untuk secara bebas menentukan kehendak tersebut dengan segala akibat hukumnya. Berdasarkan kehendak tersebut, para pihak secara bebas mempertemukan kehendak masing-masing. Kehendak para pihak inilah yang menjadi dasar kontrak. Terjadinya perbuatan hukum itu ditentukan berdasar kata sepakat.
Dengan adanya konsensus dari para pihak itu, maka kesepakatan itu menimbulkan kekuatan mengikat perjanjian sebagaimana layaknya undang-undang (pacta sunt servanda). Apa yang dinyatakan seseorang dalam suatu hubungan menjadi hukum bagi mereka. Asas inilah yang menjadi kekuatan mengikatnya perjanjian. Ini bukan kewajiban moral, tetapi juga kewajiban hukum yang pelaksanaannya wajib ditaat.
Jazaakumullah
Tidak ada komentar:
Posting Komentar